Biografi
Muhammad Bin Abdul Wahab
Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab memiliki nama lengkap Muhammad bin ‘Abd al Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at Tamimi
al-Hambali an-Najdi.[1] Muhammad Bin Abdul Wahab berasal dari Qabilah Bani Tamim.[2] Ia lahir tahun 1115 H. (1703 M.) dan wafat tahun 1206 H. (1792 M.). Beliau wafat di usia yang sangat tua, dengan umur sekitar 91 tahun.
Muhammad bin Abdul Wahab belajar ilmu agama dasar bermazhab hanbali dari ayahnya yang juga seorang qadhi (hakim). Pernah juga ia
mengaji kepada beberapa guru agama Makkah dan Madinah.[3]
Di antara gurunya di Makkah terdapat nama Syeikh Muhammad Sulaiman al Kurdi,
Syeikh Abdul Wahab (bapaknya sendiri)
dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab.
Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dibaca
dalam buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir yang membakar
untuk menolak paham Wahabi), karangan kakaknya, Sulaiman bin Abdul Wahab.
Menurut Ustadz Hazan Khazbyk dalam suatu karangannya dikatakan, bahwa Muhammad
bin Abdul Wahab ketika mudanya banyak membaca, buku-buku karangan Ibnu Taimiyah
dan lain-lain pemuka yang tersesat.[4]
Muhammad bin
ʿAbd al-Wahhāb merupakan seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh
pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah
yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha
membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung
pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya
ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran
tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai
Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".[5]
Ide
Pemurnian Muhammad bin Abdul Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran
yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Wahabiyah adalah
suatu bagian dari firqah Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab
(1702 M – 1787 M).[6] Penisbatan
ini diturunkan dari nama ayahnya yaitu Abdul Wahab. Paham Wahabi pada
hakikatnya adalah kelanjutan dari mazhab Salafiyyah yang dipelopori Ahmad Ibnu
Taimiyyah.
Muhammad bin Abdul Wahab mendalami ilmu-ilmu syariat dengan berkeliling ke
wilayah-wilayah islam, seperti Basrah, Baghdad, Hamadzan, Ashfaham, Qum, dan
Kairo. Setelah itu ia berkeliling mendakwahkan pahamnya yang tak jauh berbeda
dengan paham Ibnu taimiyyah dan mayoritas penganut mazhab Hambali. Muhammad bin
Abdul Wahab mengadakan pembaruan dengan
memperketat beberapa masalah yang tidak dilakukan oleh guru-gurunya. Ia
mengharamkan rokok, melarang membangun kuburan, meskipun sekedar dengan membuat
gundukan tanah, melarang tashwir (foto atau gambar makhuk bernyawa). Ia juga
melarang berbagai adat kebiasaan.[7]
Pembaharuan Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan Islam
dari segala bid’ah, takhayul dan khurafat, tampaknya menjadi
inspirasi bagi gerakan-gerakan pembaharuan yang terjadi di dunia Muslim dari
waktu ke waktu. Di negara Arab sendiri
ajaran-ajaran Wahhab kemudian menjadi Wahhabi karena dukungan Ibn Saud dan
putranya Abdul Aziz.
Hal terpenting yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang
menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah.
Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik,
seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka
mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka
dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan
Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka,
dan orang-orang dekat-Nya. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan
seperti ini?
Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah
yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah
dalam agama, selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog
tentang akidah serta pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram
bukanlah hujjah. Setiap orang yang telah
memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib
melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim,
karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan mereka untuk
memahami dan menentukan
hukum serta membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau
fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.[8]
Gerakan
kedua dari usaha pemurnian aqidah yang dilakukan Wahabi adalah pemberantasan
bid’ah, misalnya perayaan Maulid, keluarnya kaum wanita ikut mengiringi jenazah,
perayaan-perayaan spiritual, haul untuk memperingati kematian wali, acara-acara
yang lazim dilakukan para pengikut aliran sufi untuk mengenang kematian guru
atau nenek moyang mereka. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
beberapa kebiasaan, seperti merokok, berlebihan minum kopi, laki-laki yang
memakai kain sutera, mencukur jenggot, dan memakai perhiasan emas, juga
dianggap bid’ah.[9]
Di antara ajaran Muhammad bin Abdul Wahab yang berkenaan dengan tauhid
adalah:
1. Zat yang boleh disembah hanyalah Allah semata, dan orang yang menyembah
kepada selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.
2. Termasuk
perbuatan musyrik adalah memberikan dan menyebutkan “gelar dan sebutan
kehormatan” kepada nabi, wali atau malaikat, terutama dalam shalat, misalnya
kata sayyidina, habibuna, atau syafi’una.
3. Menafsirkan Al Qur’an dengn takwil merupakan kekufuran.
Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn
Taimiyah. Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang parsial.
Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan
oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah, dan
mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan untuk
para wali, syeikh, atau kuburan.
Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang suci dan
bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada
akidah mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para
pendahulunya yang menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti
tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati,
atau tidak takut miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat
meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih
oleh para pendahulu mereka.[11]
[2]
K.H.
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka
Tarbiyah Baru, 2008), hlm.353
[3]
Syaikh
Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta : Pustaka
Pesantren, 2011), hlm. 30-31.
[4]
K.H.
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka
Tarbiyah Baru, 2008), hlm.353.
[6] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta :
Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm. 352.
[7] Dr. Mustofa Muhammad Asy –Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta :
Gema Insani Press, 1994), hlm.392-393.
[8] Husayn Ahmad Amin, Seratus
Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm.
269-270.
[9]
Dr. Mustofa
Muhammad Asy –Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Gema Insani
Press, 1994), hlm.395.
[10]
Prof. K.
yudian Wahyudi, Ph.D, Gerakan Wahabi di Indonesia, (Yogyakarta :
Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 7-8.
[11]
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1995), hlm. 270.
0 komentar: