makalha At-Tahammul Wal Ada’

Posted by wong bojonegoro ndeso  |  Tagged as:



                                                                                                     
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw, baik perkataan,perbuatan maupun ketetapan (taqrir). Adapun yang dimaksud mengenai perkataan ialah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang,seperti bidang hukum (syari’at), akhlak. ’aqidah, pendidikan, dan sebagainya.[1] Yang dimaksud perbuatan Nabi Muhammad Saw merupakan penjelesan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas pelaksanaannya. Sedangkan arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperlakukan oleh para sahabat dihadapan beliau.Menurut Ibn Manzhur,kata ‘hadist’ berasal dari bahasa arab, yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadist, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara etimologis,kata ini memiliki banyak arti,diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qodim (yang lama), dan al-khabar yang berarti kabar atau berita.Disamping pengertian tersebut, M.M. Azami mendefinisikan bahwa kata ‘hadist’, secara etimologi (lughawiyah),berarti ‘komunikasi’, ’kisah’, ’percakapan’: religius atau sekular, historis atau kontemporer. Secara terminologis, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, atau ulama ushul,merumuskan pengertian hadits          secara berbeda-beda,perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.[2]
Pada makalah ini penulis akan membahas tentang At-tahammul Wal-Ada’ (periwayatan hadist) . Dalam penerimaan suatu hadits seseorang tidak disyaratkan muslim dan baligh.ini menurut pendapat yang shahih.Akan tetapi untuk menyampaikannya disyaratkan muslim dan baligh.Dengan demikian,riwayat hadits seorang muslim dan baligh yang diperoleh ketika sebelum memeluk islam atau sebelum baligh bisa diterima.namun,meski belum baligh mau tidak mau harus sudah mumayyiz. Jika tidak maka haditsnya ditolak.[3]
Dan penjelasan tentang tata cara  diriwayatkannya hadits dan adab (etika) yang mesti dilakukan, serta hal-hal yang terkait dengan itu.Seiring berkembangnya zaman,dan tekhnologi pun semakin canggih, banyak terjadi kasus pemalsuan hadits sehingga banyak sekali hadits palsu yang beredar di zaman sekarang. Untuk itu maka kita sebagai umat islam harus mengetahui keaslian hadits.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan di atas ,maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Tahammul Wal ada’?
2. Apa saja rumus-rumus penerimaan  ?
3. Apa pengertian periwayatan hadits ?
4. Apa saja metode untuk periwayatan  (penyampaian) hadits ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui makana At-Tahammul Wal Ada’
2. Untuk mengetahui rumus-rumus penerimaan hadits.
3. Untuk memahami ta’rif periwayatan hadits.
4. Untuk mengetahui tentang periwayatan (penyampaian) hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian At-Tahammul Wal Ada
Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari syaikh.
Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru menggunakan beberapa metode penerimaan hadist. Muhammad Ajaj Al khatib membri definisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadist. Jadi tahammul adalah proses menerma periwayatan sebuah hadis dari seorang guru degan metode-metode tertentu.
            Al ada’ adalah kegiata meriwayatkan dan menyampaikan hadist. Jadi dari sini Al ada’ merupakan proses menyampaikan dan meriwayatkan hadis kepada orang lain. Dan yang dimaksud “bentuk penyampaian” (shighah al-ada’) adalah lafazh-lafazh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikannya kepada muridnya, misalya : “sami’tu…” (aku telah mendengar), atau “haddatsani” (telah bercerita kepadaku), atau yang semisal dengannya.
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh.inilah pendapat yang benar, namun ketika menyampaikannya disyaratkan islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk islam atau sebelum baligh,dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan bagi yang belum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun.Namun yang benar adalah cukup dengan batasan tamyiz atau dapat membedakan. jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban pendengaran yang benar itulah tamyiz atau mumayyiz. jika tidak maka haditsnya ditolak.[4]
Adapun  pembatasan umur lima tahun itu tidak menafikan pendapat tersebut,qadhi ‘iyadh berkata, “barangkali mereka memandang bahwa usia lima tahun itu merupakan usia minimal bagi seseorang untuk dapat  menghapalkan dan memahami apa yang didengarnya. Apabila bukan itu alasannya; maka batas usia tamyiz itu dikembalikan kepada adat. Banyak sekali orang yang lamban pikirannya dan jelek daya nalarnya tidak dapat menghapal suatu apapun setelah umur tersebut, dan banyak pula orang yang cerdas pikirannya dan bagus daya nalarnya telah dapat paham banyak hal sebelum umur tersebut.
Atas dasar itu para ulama mengesahkan pendengaran dan penerimaan hadits oleh orang kafir dan orang fasik apabila hadits itu diriwayatkannya setelah ia masuk islam, dan mereka bertobat. Dalam kita-kitab sunah dan sirah terdapat banyak riwayat yang didengar oleh para sahabat, yang berupa ucapan Nabi Saw. atau tindakan-tindakan beliau yang mereka saksikan sebelum masuk islam.[5]
Mayoritas ulama hadis, ulama ushul, dan ulama fiqih sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijma’ ulama. Bagaimana mungkin riwayat perusak agama bisa diterima? Diampng itu Allah SWT juga memerintahkan kepada kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh oang fasik melalui firmannya:
يَاأَيُّهَاالذين أمنو إن جاءكم فاسق بنباء فتبينوا أن تصيبوا  قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
“Hai orang-rang yang berian, jika atang kepadamu orang fasik membw suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tida enmpakan suatu musibah kepada suat kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu”(al-hujarat:6)
2.      Baligh
Ini merupakan pusat taqlif , karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia tidak bisa diterima sebagai penerapan sabdah rosuluallah SAW :
رفع قلم عن ثلاث عن المجنون حتى يفيق وعن النءم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)
3.      Sifat Adil
Ini merupkan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percayakan kejujurannya menjahui dosa besar, dosa kecil seperti mengurang timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan serta menjahui perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan dijalan, buang air kecil dijalan, dan yang lainnya.
4.      Dhabit

تيفظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذلك من وقت تحمل إلى وقت أداء
Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan hadisnya dengan hadis perawi-perawi lain yang tsiqah, dhabit dan teguh. Bila ia sejaln dengan mereka dalam hal riwayat pada umumnya, meski hanya dari segi makna, mka dinili sebagai orang yang dhabit.
B.Rumus-Rumus Penerimaan Hadits
Rumus-rumus untuk menerima hadits itu ada delapan macam : as-sima’ min lafdhi as-syaikh (mendengar dari perkataan guru), al-qiraatu ‘ala as-syaikh (pembacaan kepada syaikh), ijazah,munawalah (penyerahan), al-kitabah (catatan), al-I’lam (pengumuman),  wasiat ,dan al-wijadah (perolehan).
1)      AS-SIMA’ MIN LAFDHI AS-SYAIKH
a.       Bentuknya : Seorang syekh membacakan (hadits) sementara sang murid mendengarkannya,baik syekh itu membacanya berdasarkan hapalan ataupun catatannya; begitu pula dengan sang murid,baik mendengar sambil mencatat apa yang didengarnya,atau hanya mendengar saja,tidak mencatat.
b.      Tingkatannya : Menurut pendapat jumhur, as-sima’ merupakan cara yang paling tinggi derajatnya dalam pembagian jalan-jalan penerimaan hadits.
c.       Lafadz-lafadz penyampaian hadits:
1.      Sebelum tersebarnya spesifikasi atas sebagian lafadz dalam pembagian jalan-jalan penerimaan hadits, orang yang mendengar dari lafadz syekhnya diperbolehkan untuk mengatakan ketika menyampaikan hadits: sami’tu (aku telah mendengar), atau haddatsani (telah bertutur kepadaku),atau anba-ani (telah memberi tahu kepadaku), atau qala li (telah berkata kepadaku), atau dzakara li (telah menyebutkan kepadaku).
2.      Setelah tersebar luas spesifikasi atas sebagian lafadz dalam pembagian jalan-jalan penerimaan hadits, maka lafadz-lafadz penyampaian itu menjadi:
a.       Li as-sima’ (untuk mendengar): sami’tu atau haddatsani.
b.      Li al-qira-ah (untuk membaca): akhbarani.
c.       Li al-ijazah (untuk ijazah): anba-ani.
d.      Li as-sima’ al-mudzakarah (untuk mendengar mudzakarah): qala li,atau dzakara
2)      AL-QIRA-ATU ‘ALA AS-SYAIKH
Banyak ahli hadits menyebutnya dengan ‘ardlan.
a.       Bentuknya : Sang murid membacakan hadits dan syekhnya mendengarkan,baik yang membaca itu sang murid maupun orang lain, tetapi syekh mendengar ; baik pembacaan itu berasal dari hapalan atau pun dari catatan ; baik syekh itu menyimak orang yang membaca dari hapalannya atau pun menyodorkan catatannya kepada yang membaca,atau yang dilakukan orang tsiqah selainnya.
b.      Hukum riwayatnya : Riwayat melalui jalan pembacaan kepada syekhnya merupakan riwayat yang shahih,tanpa ada perbedaan.dengan seluruh bentuk yang disebutkan,kecuali apa yang diriwayatkan dari sebagian orang yang ekstrim.
c.       Tingkatannya: Terdapat perselisihan,dan terdapat tiga pendapat:
1.      Sederajat dengan as-sima’: Diriwayatkan dari Malik dan Bukhari,dan sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah.
2.      Lebih rendah dari as-sima’: Diriwayatkan dari jumhur penduduk Masyriq: ‘dan itu adalah shahih’.
3.      Lebih tinggi dari as-sima’: Diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Ibnu Abi Dzi’bi,dan riwayatnya dari Malik.



d.      Lafadz-lafadz penyampaian:
1.      Yang lebih berhati-hati: qara’tu ‘ala fulanin (aku membacakannya kepada si fulan),atau quri’a ‘alaihiwa ana asma’ufa aqarra bihi (dibacakan kepadanya sementara aku mendengarkan,dan dia setuju).
2.      Yang boleh: Dengan ungkapan as-sima’ yang terbatas dengan lafadz qira’ah,seperti: haddatsana qira’atan ‘alaihi (telah menuturkan kepada kami secara bacaan didepannya).
3.      Yang umum digunakan oleh ahli hadits: yaitu lafadz: akhbarana (telah memberi tahu kepada kami), tanpa ada tambahan lain.
3)      IJAZAH
a.       Definisinya: Ijin untuk meriwayatkan,baik dengan ucapan maupun catatan.
b.      Bentuknya: Syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya: Ajazku laka an tarwiya ‘anni shahiha al-bukhari (aku mengijinkanmu untuk meriwayatkan shahih bukhari).
c.       Jenisnya: Bermacam-macam,saya akan memaparkan diantaranya lima jenis yaitu:
1.      Syaikh mengijinkan riwayat tertentu untuk orang tertentu:seperti ajaztuka shahiha al-bukhari (aku mengijinkanmu untuk meriwayatkan shahih bukhari). Jenis ini memiliki derajat tertinggi dari berbagau jenis ijazah yang berupa penyerahan.
2.      Syaikh mengijinkan orang tertentu bagi riwayat yang tidak ditentukan: seperti ajaztuka riwayata masmu’ati (aku mengijinkanmu untuk meriwayatkan (hadits) yang aku dengar).
3.      Syaikh mengijinkan bukan orang tertentu bagi riwayat yang tidak ditentukan: seperti ajaztu ahla zamani riwayata masmu’ati (aku mengijinkan penduduk dizamanku untuk meriwayatkan apa yang aku dengar).
4.      Syekh mengijinkan orang yang tidak dikenal hadits-hadits yang majhul (tidak dikenal): seperti,ajaztuka kitaba as-sunan (aku mengijinkan meriwayatkan kitab sunan), sementara syekhnya meriwayatkan beberapa hadits dari kitab sunan; atau, ajaztu li Muhammad bin Khalid ad-Dimasyki (aku mengijinkan bagi Muhammad bin Khalid dari Damaskus), sementara ada beberapa orang untuk nama yang sama.
5.      Ijazah untuk orang yang belum ada: Kadangkala bagi generasi berikutnya,seperti,ajaztu li fulanin wa liman yuladu lahu (aku mengijinkan bagi si fulan dan orang yang dilahirkannya, atau kadang kala bagi orang yang sama sekali belum ada, seperti ajaztu liman yuladu li fulanin (aku mengijinkan bagi orang yang dilahirkan oleh si fulan).
d.      Hukumnya: Untuk jenis yang pertama yang benar menurut  pendapat jumhur dan disepakati penggunaannya adalah dibolehkan meriwayatkan dan mengamalkannya. Memang ada sekelompok ulama yang membatalkannya, yaitu salah satu dari dua riwayat Syafi’i.
e.       Lafadz-lafadz penyampaian:
1.      Yang utama:perkataan,ajaza li fulanun (telah mengijinkanku si fulan).
2.      Yang dibolehkan: dengan umgkapan as-sama’ dan qira’ah yang terbatas, seperti haddatsana ijazatan (telah menuturkan kami dengan ijazah (telah menuturkan kepada kami dengan ijazah), atau akhbarana ijazatan (telah mengabarkan kepada kami dengan ijazah).
3.      Istilah yang digunakan ulama kontemporer: anba-ana (telah menerangkan kepada kami), ini telah dipilih oleh penyusun kitab al-wijazah.

4)      AL-MUNAWALAH
Al-munawalah ada 2 macam :
a.       Munawalah yang disertai dengan ijazah.Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara mutlak.Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya; “Ini riwayatku dari fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah dari as-sama’ dan al-qira’ah.
b.      Munawalah yang tidak diiringi dengan ijazah.seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan: “Ini adalah riwayatku”. Yang semacam ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.[6]
5)      AL-KITABAH
Yaitu: Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir ditempatnya atau yang tidak hadir disitu.Kitabah ada 2 macam:
a.       Kitabah yang disertai dengan ijazah,seperti perkataan sang syekh, ”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya.Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai dengan ijazah.
b.      Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syekh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak dibolehkan untuk meriwayatkannya. Disini terdapat perselisihan masalah hukum periwatannya. Sebagian tidak membolehkan yang lain membolehkannya.
6)      AL-I’LAM

Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari padanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan al-‘ilam,sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.[7]
Lafadz-lafadz untuk menyampaikan hadits yang diterima berdasar I’lam ini seperti:
اعلمنى فلا ن قا ل حدّ ثنا...الخ[8]
7)      AL-WASHIYYAH
Yaitu seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipaki menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
8)      AL-WIJADAH
Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedangkan hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan atau pun ditulis oleh si perawi.
Orang yang menemukan hadits itu boleh meriwayatkannya darinya dengan cara menceritakannya, dan untuk itu ia berkata,
وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ : حَدَّ ثَنَا فُلَا نُ
Aku dapatkan pada tulisan fulan bahwasannya fulan menceritakan kepada kami…..
C. Periwayatan Hadist
Hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits, misalnya shahih bukhari dan shahih muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayat al-hadits atau al-riwayat, yang dalam bahasa indoneisa dapat diterjemahkan  dengan periwayatan hadits atau periwayatan. Sesuatau yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud al-riwayat atau periwayatan hadits ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadits tersebut apabila menghilanghkan kata-kata atau menambahkan kata-katanya sendiri, sehingga terproduksilah hadits-hadits yang hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri mengenai hadits-hadits tersebut.
Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadits yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadits itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits”.[9]
D.Meriwayatkan (menyampaikan) Al-Hadits
1.      Lafadz-lafadz untuk  meriwayatkan hadits
Di muka telah diketahui, bahwa karena perbedaan cara-cara rawi menerima hadits dari guru yang memberikan, maka berbeda pulalah lafadz-lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadits. Perbedaan lafadz-lafadz menyampaikan hadits, mengakibatkan perbedaan nilai suatu hadits. Misalnya suatu hadits yang diriwayatkan dengan menggunakan shighat sama’ (sami’tu, sami’na) tahdits (haddatsany, haddatsana) dan ikhbar (akhbarani, akhbarana) lebih meyakinkan kepada kita bahwa rawi-rawinya mendengar sendiri dari guru yang pernah memberikannya, dari pada kalau diriwayatkan dengan shighat an’anah (an = dari, anna = sebenarnya ). Sebab shighat an’anah itu memberikan kesimpulan adanya kemungkinan untuk menyampaikan hadits itu mendengar sendiri langsung dari gurunya atau sudah melalui orang lain.
Lafadz-lafadz untuk menyampaikan hadits itu, dapat dikelimpokkan kepada dua kelompok, yakni:
Pertama: Lafadz meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya. Lafadz-lafadz itu tersusun sebagai berikut:
سَمِعْتُ ، سَمِعْنَ
Saya telah mendengar …; Kami telah mendengar
Lafadz ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkannya tinggi martabatnya, lantaran rawi-rawinya mendengar sendiri, baik berhadapan muka dengan guru yang memberikannya atau dibelakang tabir:
Kemudian             حَدَّ ثَنِى ، حَدَّ ثَنَا
Seseorang telah bercerita padaku … seseorang telah bercerita pada kami …
Lafadz-lafadz tahdits ini, oleh ulama jumhur kadang-kadang dirumuskan dengan:
ثَنِى، نِى، دَ ثَنِى، ثَنَا، نَا، دَ ثَنَا
Di bawah tahdits:
اَخْبَرَ نِى، اَخْبَرَ نَا
Seseorang telah mengabarkan padaku/kepada kami ….
Lafadz-lafadz ikhbar ini oleh para muhadditsin dirumuskan dengan:
اَنَا، اَرَنَا، اَبَا نَا، اَخَا نَا
Asy’Syafi’iy dan ulama-ulama timur, membedakan lafadz haddatsana dan akhbarana, ialah kalau lafadz haddatsana itu untuk rawi yang mendengar langsung dari sang guru, sedang lafadz akhbarana untuk rawi yang membaca atau menghapal hadits dihadapan guru, kemudian sang guru mengiakan.
lalu:           أَنْبَأَ نَا ;  نَبَأَ نَا
Seseorang memberitahukan kepadaku/kami ….
Kedua lafadz ini sedikit sekali pemakaiannya.
Kedua: Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri yaitu :
رُ وِ ىَ,  حُكِىَ,  عَنْ,  أنَّ ....
(diriwayatkan oleh …, dihikayatkan oleh … dari … bahwasannya …)
2.      Hadist Mu’an’an dan Hadits Muannan
Jika seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dengan lafadz ‘an (dari), haditsnya disebut dengan hadits MU’AN’AN dan ia disebut MU’AN’IN. Dan jika seorang rawi meriwayatkan dengan lafadz anna (bahwasannya), Haditsnya disebut MU-AN-NAN, dan ia disebut MANNIN.
Contoh hadits mu’an’an ialah hadits Al-Bukhary dari isma’il:
حَدَّ ثَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ اَبِى هُرَ يْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِىْمَانًاوَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syibah dari Humaidi bin ‘Abdu’r-Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw. Bersabda: ‘Siapa yang beramadhan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus dosa-dosanya yang telah lalu’.”
Suatu hadits yang diriwayatkan dengan cara tersebut agar dapat dihukumi sebagaimana hadits muttasil harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Menurut Bukhary, Ibnu’I-Madiny dan para Muhaqqiqin, hendaknya:
a.       Si mu’an’in bukan seorang mudallis.
b.      Si mu’an’in harus pernah berjumpa dengan orang yang pernah memberinya.[10]












                                                          BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jalan menerima hadits adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari syaikh. Dan yang dimaksud bentuk penyampaian adalah lafadz-lafadz yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikannya kepada muridnya. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar, namun ketika menyampaikannya disyaratkan islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan bagi yang belum baligh.
Periwayatan hadits ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentu-bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits, “sekiranya orang tersebut menyampaikan hadits yang telah diterimanya kepada orang lain,tetapi ketika menyampaikan hadits itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist.


DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits.  Bandung: PT Alma’arif. 1974.
‘Itr, Nuruddin.  ‘Ulumul Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. 2014.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. 2012.
Thahan, Mahmud. Ilmu Hadits Praktis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. 2013.
Ismail,Syuhudi. Kaedah Keshahihan Sanad Hadits. Jakarta: PT Bulan Bintang. 1995.
Solahudin, M.Agus dan Suyadi, Agus. ‘Ulumul Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. 2011.



[1] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, ‘Ulumul Hadits (Jakarta:Amzah, 2013) , Cetakan Kedua, Hlm. 2.
[2] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: PT Alma’arif, 1968), Cet ke-12, Hlm 21-24.
[3] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadit s(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), Cet Ke-6, Hlm. 181.
[4] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), Cet Ke-6, Hlm. 181.

[5] Dr Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet Ke-3, Hlm 205-206.
[6] Dr. Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis (Bogor:Pustaka Thariqul Izzah, 2013), Cet Ke-6, Hlm 205-209.
[7] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits ( Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), Cet Ke-6, Hlm 181-185.
[8] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT Alma’arif, 1968), cet ke-12 Hlm 251.

[9] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995)
[10] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: PT Alma’arif, 1968) , cet ke-12 Hlm 252-255.

1 comment:

  1. The sunscreen with zinc oxide and titanium dioxide
    The sunscreen babyliss pro titanium with zinc oxide and titanium max trimmer titanium dioxide - T.I. babylisspro nano titanium hair dryer has titanium earrings sensitive ears no known history of problems or irritation. The sunflower oil suunto 9 baro titanium is also a natural sunscreen.

    ReplyDelete

Author

Write admin description here..

Free counters!
ERC.Net TAMBAKBERAS JOMBANG

Subscribe to our Mailing List

We'll never share your Email address.
Copyright © 2013 ca' go' ae wes. Powered by Blogger.
Blogger Template by Bloggertheme9
+6285748831888ramagok@gmail.com