PERADABAN ISLAM TURKI USMANI
Dinasti Turki
Usmani merupakan kekhalifaan yang cukup besar dalam Islam dan memiliki pengaruh
cukup signifikan dalam perkembangan wilayah Islam di Asia, Afrika, dan Eropa.
Bangsa Turki memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan peradaban
Islam.[1]
Munculnya
dinasti Usmani di Turki terjadi pada saat dunia Islam mengalami fragmentasi
kekuasaan pada periode kedua dari pemerintahan Abbasiyah (kira-kira abad ke-9).
Sebelum itu, sekalipun telah ada kekuasaan bani Umayyah di Andalusia (755-1031
M) dan Bani Idris di bagian barat Afrika Utara (788-974 M), fregmentasi itu
semakin menjadi pada sejak abad ke-9 M. Kerajaan Usmani berkuasa secara meluas
di Asia kecil sejak munculnya pembina dinasti ini yaitu Ottoman, pada tahun
1306 M. Golongan Ottoman mengambil nama mereka dari Usman I (1290-1326 M),
pendiri kerajaan ini dan keturunannya berkuasa sampai 1922 M. Di antara negara
muslim, Turki Usmani yang dapat mendirikan kerajaan yang paling besar serta
paling lama berkuasa. Pada masa Sultan Usman, orang Turki bukan merebut
negara-negara Arab, tetapi juga seluruh daerah antara Kaukasus dan kota Wina.
Dari Istanbul yang merupakan ibu kota kerajaan tersebut, mereka menguasai
daerah-daerah di sekitar laut tengah dan Turki merupakan faktor penting dalam
perhitungan ahli-ahli politik di Eropa Barat. Dinasti Turki Usmani merupakan
kekhalifaan Islam yang mempunyai pengaruh besar dalam peradaban di dunia Islam.
A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Usmani
Kerajaan Turki
Usmani didirikan oleh suku bangsa pengembara yang berasal dari wilayah Asia
Tengah, yang termasuk suku Kayi. Ketika bangsa Mongol menyerang umat Islam,
pemimpin suku kayi, Sulaiman Syah, mengajak anggota sukunya untuk menghindari
serbuan bangsa Mongol tersebut dan lari ke arah barat. Bangsa Mongol itu mulai
menyerang dan menaklukan wilayah Islam yang berada di bawah kekuasaan dinasti
Khwarazm Syah tahun 1219-1220 M. Sulaiman Syah meminta perlindungan kepada
Jalal Ad-Din, pemimpin terakhir dinasti Khwarazm Syah tersebut di Transoksania,
sebelum dikalahkan oleh pasukan Mongol. Jalal ad-Din memberi jalan agar
Sulaiman pergi ke Barat ke arah Asia kecil, dan di sanalah mereke menetap.
Sulaiman ingin pindah lagi ke wilayah Syam setelah ancaman Mongol reda. Dalam
usahanya pindah ke negri Syam tersebut, pemimpin orang-orang Turki tersebut
hanyut di Sungai Eufrat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar, tahun 1228 M.[2]
Mereka akhirnya
terbagi menjadi 2 kelompok, yang pertama ingin pulang ke negeri asalnya, dan
yang kedua meneruskan perantauannya ke wilayah Asia Kecil. Kelompok kedua itu
berjumlah sekitar 400 keluarga dipimpin oleh Erthogrol (Arthogrol), anak
Sulaiman. Mereka akhirnya menghambkan dirinya kepada Sultan Ala ad-Din II dari
Turki Saljuq Rum yang pemerintahannya berpusat di Konya, Anatolia, Asia Kecil.
Di bawah
pimpinan Ertoghrol, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Seljuk yang sedang
berperang melawan Bizanthium.[3]
Pada waktu itu bangsa Saljuk yang serumpun dan seagama dengan orang-orang Turki
yang imigran, melihat bahaya bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan
kemaharajaan Romawi Timur (Bizantium). Dengan adanya tambahan pasukan baru dari
saudara sebangsanya itu pasukan Saljuk menang atas Romawi. Sultan gembira
dengan kemenangan tersebut dan memberi hadiah kepada Erthogrol wilayah yang
berbatasan dengan Bizantum. Dengan senang hati Erthogrol membangun tanah
perdikan itu dan berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut dan merongrong
wilayah Bizantium. Mereka menjadikan Sogud sebagai pusat kekuasaannya. Dinasti
Saljuk Rum sendiri sedang surut pada saat itu. Dinasti tersebut telah berkuasa
di Anatholia bagian tengah kurang lebih dua ratus tahun lamanya, sejak tahun
1077 -1300 M.
Erthogrol
mempunyai seorang putra yang bernama Usman yang diperkirakan lahir tahun 1258 M.
Nama Ustman itulah yang diambil sebagai nama untuk kerajaan Turki Usmani. Namun
demikian, sebagian ahli menyebutkan bahwa Usman adalah anak Sauji. Sauji itulah
anak Erthogrol, sehingga Usman adalah cucunya, bukan anaknya. Sauji telah
meniggal sebelum ayahnya meninggal. Ia meninggal dalam perjalanan pulang
sehabis memohon kepada Sultan Saljuq atas perintah ayahnya Erthogrol untuk
tinggal menetap di wilayahnya. Permohonan itu dikabulkan oleh Sultan makanya
Erthogrol ketika menerima berita ini sedih bercampur gembira. Sedih karena
anaknya meninggal dan gembira karena permohonannya untuk menettap di wilayah
Saljuq itu dikabulkan oleh Sultan.[4]
Ketika
Erthogrol meninggal dunia tahun 1289 M, kepemimpinan dilanjutkan oleh Usman.
Usman inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajan Usmani. Usman memerintah
antara tahun 1290 M dan 1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada
Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizanthium
yang berdekatan dengamn kota Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol
menyerang kerajaan Seljuq Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa
kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah
yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Usman dinyatakan berdiri. Penguasa
pertamanya adalah Usman yang sering disebut dengan Usman I.[5]
B. Sultan Turki Usmani
Raja-raja Turki Usmani bergelar Sultan dan Khalifah
sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi dan khalifah berkuasa di bidang
agama atau spiritual. Mereka mendapatkan kekuasaan secara turun-temurun, tetapi
tidak harus putra pertama yang menjadi pengganti sultan terdahulu. Dalam
perkembangan selanjutnya, pergantian kekuasaan itu juga diserahkan kepada
saudara sultan bukan kepada anaknya. Dengan sistem pergantian kekuasaan yang
demikian itu sering timbul perebutan kekuasaan yang tidak jarang menjadi ajang
pertempuran antara satu pangeran dengan pangeran yang lainnya, yang
mengakibatkan lemahnya kekuasaa Usmaniyyah. sejak zaman Usman hingga Sulaiman
yang agung dapat dikatakan bahwa para sultannya terdiri dari orang-orang yang
kuat, dapat mengembangkan kerajaannya hingga ke Eropa dan ke Amerika.
Di masa Sulaiman yang bergelar juga al-Qanuni itulah
Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Setelah masa itu para sultannya dalam
keadaan lemah, ditambah lagi dengan banyaknya serangan balik dari negeri-negeri
Eropa yang sudah merasa kuat. Akhirnya para penguasa Usman tidak dapat lagi
mempertahankan kerajaanya yang luas itu dan hilanglah kekuasaannya tahun 1924
ketika Mustafa Kemal Attaturk menghapuskan khalifah untuk selama-lamanya di
bumi Turki dan bergantilah negeri itu menjadi Republik hingga kini.[6]
Sekitar 165 tahun berkuasa, tidak kurang dari tiga
puluh delapan sultan, yang dalam sejarah kekuasaan mereka bisa di bagi menjadi
lima periode.
1. Periode pertama
Periode ini dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi
pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan Timur. Sultan-sultannya
adalah:
a. Usman I 1299-1326
b. Orkhan (putera Usman I) 1326-1359
c. Murad ((putera Orkhan) 1359-1389
d. Bayazid I Yildirim (Putera Murad) 1389-1402
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, Usman mendapatkan kekuasaannya setelah meningglanya
Sultan Saljuq Rum, Ala ad-Din II. Kerajaannya diperkuat dengan menambah
wilayah-wilayah yang dirampasnya dari Bizanthium.
Setelah Usman I
mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al-Usman
(raja besar keluarga Usman) tahun 699 H, setapak demi setapak wilayah
kerajaan dapat diperluasnya. Dia menyerang daerah perbatasan Bizantium dan
menaklukan kota Broessa tahun 1317 M, kemudian pada tahun 1326 M dijadikan
sebagai ibu kota kerajaan.
Pada masa
pemerintahan Orkhan 1326 M kerajaan Turki Usmani dapat menaklukan Azmir
(Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354
M), dan Galli poli (1356 M). Daerah ini adalah bagian benua Eropa yang pertama
kali diduduki kerajaan Usmani.[7]
Ketika Murad I
berkuasa (1359-1389 M) selain memantapkan keamanan dalam negeri, ia melakukan
perluasan daerah ke benua Eropa. Ia dapat menaklukkan Adrionopel, Macedonia,
Sopia, Salonia, dan seluruh wilayah bagian Utara Yunani. Merasa cemas terhadap
kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang.
Sejumlah besar pasukan Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Usmani.
Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman , raja Honggaria. Namun Sultan Bayazid 1
dapat mengahancurkan pasukan sekutu Kristen Eropa tersebut.[8]
Sultan Bayazid
naik tahta tahun 1389 M dan mendapat gelar Yaldirin dan Yaldrum, yang berarti
kilat karena terkenal dengan serangan-serangannya yang cepat terhadap lawannya.
Ia menaklukkan wilayah-wilayah yang belum ditundukkan oleh para pendahulunya..[9]
Ekspansi
kerajaan Usmani sempat terhenti ketika ekspansi diarahkan ke Konstantinopel,
tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke Asia Kecil.
Pertempuran hebat terjadi di Ankara tahun 1402 M. Tentara Turki Usmani
mengalami kekalahan. Bayazid bersama puteranya Musa tertawan dan wafat dalam
tawanan tahun 1403 M. Kekalahan Bayazid di Ankara itu membawa akibat buruk bagi
Turrki Usmani. Penguasa-penguasa Seljuq di Asia Kecil melepaskan diri dari
genggaman Turki Usmani. Wilayah-wilayah Serbia dan Bulgaria juga
memproklamasikan kemerdekaan. Dalam pada itu putera Bayazid saling berebut
kekuasaan. Suasana buruk ini baru berakhir setelah Sultan Muhammad I (1403-1421
M) dapat mengatasinya. Sultan Muhammad berusaha keras menyatukan negaranya dan
mengembalikan kekuatan dan kekuasaan seperti sediakala.[10]
2. Periode Kedua
Periode ini ditandai dengan restorasi kerajaan dan
cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar. Sultan-sultannya adalah:
[11]
a. Muhammad I (Putera Bayazid I) 1403-1421
b. Murad II (Putera Muhammad I) 1421-1451
c. Muhammad II Fatih (Putera Murad
II) 1451-1481
d. Bayazid II (Putera Muhammad II) 1481-1512
e. Salim I (Putera Bayazid II) 1512-1520
f. Sulaiman I Qanuni (Putera
Salim I) 1520-1566
Setelah Timur Lenk meninggal dunia tahun 1405 M,
kesultanan Mongol dipecah dan dibagi-bagi kepada putera-puteranya yang satu
sama lain saling berselisih. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penguasa Turki
Usmani untuk melepaskan diri. Namun pada saat ittu juga terjadi perselisihan
antara putera-putera Bayazid (Muhammad, Isa, dan Sulaiman). Setelah sepuluh
tahun perebutan kekuasaan terjadi, akhirnya Muhammad berhasil mengalahkan
saudara-saudarnya. Usaha Muhammad yang pertama kali ialah mengadakan
perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam negeri.[12]
Muhammad baru diakui seluruh wilayah Usman setelah berjuang kurang lebih
sepuluh tahun. Ia mempunyai strategi yang berbeda untuk menghadapi semua
lawannya. Ia membuat perjanjian damai dengan raja-raja Eropa dan menaklukkan
wilayah-wilayah yang menentang satu demi satu. Akirnya wilayah Usman dapat
disatukan satu demi satu. Integrasi wilayah ini tampaknya mengejutkan Eropa
karena mereka sama sekali tidak menduga bahwa Usman akan bangkit kembali karena
sudah berantakan akibat serangan Timur Lenk. Sultan meninggal tahun 1421 M dan
digantikan oleh putranya Murad II.
Sultan Muran II naik tahta ketika beliau berumur muda
sehingga tidak dihiraukan oleh raja-raja Eropa. Banyak tantangan yang dia
hadapi. Yang paling penting adalah bersatunya pasukan Eropa di bawah komando
negeri Honggaria dengan Huynade sebagai pemimpinnya. Serangan-serangan terhadap
dunia Islam membuahkan kemenangan, yang memaksa Murad II untuk berdamai dengan
mereka. Perdamaian dengan sumpah di bawah kitab suci masing-masing agama itu
Injil dan al-Qur’an dikhianati oleh pihak Kristen. Mereka bernafsu menyerang
kembali Usman tanpa menghiraukan perjanjian yang telah dibuat belum lama
berselang. Sultan Murad yang semula mengundurkan diri dari panggung politik
bangkit kembali untuk menghadapi pengkhianatan itu. Akhirnya dengan semangat
yang tinggi dan serangan yang dahsyat pasukan Huynade dapat dilumpuhkan dan ia
lari ke Eropa. Sultan Murad II meninggal setelah itu, pada tahun 1451 M, dan
digantikan oleh putranya, Muhammad II.[13]
Sultan Muhammad II naik tahta pada tahun 1451 M dengan
mewarisi kerajaan yang luas. Ia terkenal dengan nama Al-Fatih, sang penakluk
atau pembuka, karena pada masanya Konstantinopel sebagai ibu kota Bizantium
berabad-abad lamanya dapat ditundukkan. Hal itu terjadi pada tahu 1453 M.
Pasukan Usmani memblokade kota berbenteng kuat itu dari segala penjuru yang
akhirnya kota itu dapat ditaklukkan. Gereja Aya Sophia yang terkenal itu diubah
menjadi mesjid dan kebebasan beragama dijamin. Ibu kota Usmani dipindahkan ke
kota itu dari Edirne. Telah berulang kali pasukan muslim sejak masa Umayyah
berusaha menaklukkan Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena kokohnya
benteng di kota tua itu. Dengan terbukannya kota Konstantinopel sebagai benteng
pertahanan terkuat kerajaan Bizanthium, lebih memudahkan arus ekspansi Turki
Usmani ke benua Eropa. Dan wilayah Eropa bagian timur semakin terancam oleh
Turki Usmani. Karena ekspansi Turki Usmani juga dilakukan ke wilayah ini bahkan
sampai ke pintu gerbang kota Wina, Austria.[14]
Sultan Muhammad mengembangkan wilayahnya lebih lanjut
setelah penaklukan yang dinanti-nanti oleh umat Islam. Sultan meninggal tahun
1481 M dan diganti oleh putranya Bayazid II.
Berbeda bengan ayahnya
Bayazid II lebih mementingkan kehidupan tasawuf daripada perang di medan laga.
Kelemahannyaa di bidang pemerintahan yang cenderung berdamai dengan musuh
mengakibatkan Sultan itu tidak begitu ditaati oleh rakyatnya, termasuk
putera-puteranya. Bahkan terjadi perselisihan yang panjang antara mereka.
Akhirnya Sultan Bayazid II mengundurkan diri dari pemerintahan tahun 1512 dan
digantikan oleh puteranya Salim I.
Berbeda dengan ayahnya
Sultan Salim I memiliki kemampuan memerintah dan memimpin peperangan. Maka pada
saat pemerintahannya wilayah Usman bertambah luas hingga menembus Afrika Utara.
Gelar khalifah yang disandang oleh al-Mutawakkil ‘ala Allah, salah seorang
keturunan Bani Abbas yang selamat dari serangan bangsa Mongol 1235 M dan pada
saat itu yang berada di bawah proteksi Mamluk, diambil alih oleh Sultan. Dengan
demikian sejak masa Sultan Salim para sultan Usmani menyandang juga gelar
khalifah. Walaupun sangat sebentar sekali berkuasa Sultan Salim sangat berjasa
membentangkan wilayahnya hingga mencapai Afrika Utara, suatu hal yang belum
pernah dilakukan oleh para pendahulunya. Ia meninggal tahun 1520 dan digantikan
oleh anaknya Sulaiman I. [15]
Pada masa Sultan Sulaiman
I ini terjadilah zaman keemasan bagi kerajaan Turki Usmani. Wilayahnya mencapai
kawasan yang luas, meliputi daratan Eropa hingga Austria, Mesir dan Afrika
Utara hingga Aljazair dan Asia hingga ke
Persia. Serta meliputi lautan Hindia, laut Arabia, laut Merah, Lut Tengah dan
Laut Hitam. Ia menyebut dirinya sebagai Sultan dari segala Sultan, raja
diraja, pemberi anugerah mahkota bagi
raja-raja dan bayang-bayang Allah di muka bumi. Ia membuat dan memberlakukan
Undang-undang di wilayahnya sehingga ia disebut al-Qanuni, pembuat
Undang-undang. Orang Barat menyebutnya sebagai Sulaiman yang agung, The
Magnificinet. Ia wafat tahun 1566 M dan digantikan oleh putranya Salim II. Di
masa anaknya inilah mulai tampak kemunduran kerajaan Usmani sedikit demi
sedikit.
3. Periode Ketiga
Periode ini ditandai dengan kemampuan Usmani untuk
mempertahankan wilayahnya, sampai lepasnya Hungaria. Namun kemunduran segera
terjadi. Dalam masa kemunduran Turki Usmani setelah Sulaiman terdapat beberapa
Sultan yang berkuasa berturut-turut sebagai berikut:
a. Salim II (Putera Sulaiman I) 1566-1573
b. Murad III (Putera Salim II) 1573-1596
c. Muhammad III (Putera Murad III) 1596-1603
d. Ahmad I (Putera Muhammad III) 1603-1617
e. Mustafa I (Putera Ahmad I) 1617-1618
f. Usman II (Putera Ahmad I) 1618-1622
g. Mustafa I (Yang kedua kalinya) 1622-1623
h. Murad IV (Putera Ahmad I) 1623-1640
i. Ibrahim I (Putera
Ahmad I) 1640-1648
j. Muhammad IV (Putera
Ibrahim I) 1648-1687
k. Sulaiman III (Putera Ibrahim I) 1687-1691
l. Ahmad II (Putera
Ibrahim I) 1691-1695
m. Mustafa II (Putera Muhammad IV) 1695-1703
Pada akhir kerajaan Sulaiman I kerajaan Usmani berada
di tengah-tengah dua kekuatan Monarki Austria di Eropa dan kerajaan Shafawi di
Asia. Selama periode ini Usmani mencapai kemenangan dibeberapa negara di Eropa.
Di Asia sistem Feodal memungkinkan munculnya penguasa-penguasa lokal yang
diberi gelar pasya. Mereka ditemukan diperbatasan Persia dan Kurdistan, dan
juga di Syria. Melemahnya kerajaan Usmani pada awal periode ini sebagian besar
disebabkan oleh alasan domestik. Pengganti Sulaiman tidak sesuai dengan
tuntutan kondisi itu. Sultan Muhammad II, Usman II, dan Muhammad IV sering
menyertai pasukan dalam ekspedisi, tetapi Murad IV adalah Sultan terakhir yang
mempertahankan tradisi ghazi. Jadi para sultan selanjutnya kurang terlibat
langsung dalam administrasi negara sekalipun mereka tetap dikelilingi oleh
tradisi kebesaran.
Namun ini tidak menyelamatkan pembunuhan Usman II pada
tahun 1628 M dan pemakzulan Ibrahim pada tahun 1648 M dan Muhammad IV pada
tahun 1688 M. Bahkan para penguasa dan jendral memainkan peran lebih penting
dalam pemerintahan, seperti Mehmed Saqoli Pasya di bawah Salim II, Sinan Pasya
di bawah Muhammad II, Murad Pasya dan Khalil Pasya di bawah Ahmad I dan Usman
II. Di samping itu beberapa kelompok lain bersaing dalam mengatur negara,
seperti korps Janissari, Sipahi, lingkaran istana dan ulama’ dengan instuisinya
syaikh al-islam. Murad IV adalah satu-satunya sultan yang sanggup menekan
pengaruh kelompok-kelompok itu. Ia bahkan berhasil meningkatkan kekuatan
militer baru, Segban, berasama-sama Janissari. Sekalipun terdapat gejolak
keagamaan dari sebagian masyarakat melawan orang-oarangg kristen, para
negarawan itu menunjukkan sikap yang sangat toleran.
Ada pemberontakan agama yang dilakukan oleh masyarakat
kelas bawah di Asia Kecil, dan ini menunjukkan bahwa tradisi keagamaan lama
abad ke-13 dan ke-14 tidak seluruhnya lenyap.
4. Periode Keempat
Periode ini ditandai dengan secara berangsur-angsur
surutnya kekuatan kerajaan dan pecahnya wilayah di tangan para penguasa
wilayah. Sultan-sultannya adalah sebagai berikut:
a. Ahmad III (Putera Muhammad IV) 1703-1730
b. Mahmud I (Putera Mustafa II) 1730-1754
c. Usman III (Putera Mustafa II) 1754-1757
d. Mustafa III (Putera Ahmad III) 1757-1774
e. Abdul Hamid (Putera Ahmad III) 1774-1788
f. Salim III (Putera Mustafa
III) 1789-1807
g. Mustafa IV (Putera Abd. Al-Hamid
I) 1807-1808
h. Mahmud II (Putera Abd. Al-Hamid
II) 1808-1839
Selama abad ke-18 tanda-tanda kemunduran kerajaan Turki
semakin tampak. Sebab-sebab kemunduran itu terdapat dalam kondisi politik.
Dampak masa transisi dari penaklukan ke masa damai dimanfaatkan oleh
kekuatan-kekuatan asing, seperti Austria dan Rusia. Sistem administari tetap
sama selama periode ini.
Pada periode
ini pula terjadi perkembangan literatur yang pesat diluar lingkaran ulama’.
Kelas baru sastrawan muncul yang menjadi cikal bakal lahirnya kelas menengah
intelektual yang bermula pada awal abad ke-19. Demikian juga lahir
pelukis-pelukis baru sejak tahun 1727. Kelas baru dari fungsionaris ini adalah
budak-budak sultan.
Setelah Ahmad III kehidupan di istana menjadi lebih
tenang. Kelas penguasa dan para sultan mulai menyadari kelemahan kerajaan dan
berusaha mengatasinya dengan cara memperkenalkan pembaharuan militer. Salim III
melaksanakan pembaharuan militer, tetapi sangat sedikit yang mendukungnya.
Mahmud II akhirnya mempertimbangkan reformasi yang lebih terencana. Ia akhirnya
mengambil kesimpulan bahwa tidak ada jalan lain dalam melaksanakan pembaharuan
selain melakukan pembunuhan massal terhadap Janissari, tindakan itu benar-banar
terjadi di Konstantinopel pada 16 Juni 1826 M.
Pada saat yang sama tarikat Bektassyyiyah ditindas.
Lemahnya kerajaan pusat telah menjadi karakter kerajaan Usmani pada abad ke-18.
Aljazair, Tunisia, dan Tripoli diperintah oleh para Bey secara turun-temurun.
Mesir diambil alih oleh Ali Bey. Di Anattholia pada tahun 1739 ada
pemberontakan yang berbahaya dari Syari Beg Oghlu.
5. Periode Kelima
Periode ini ditandai dengan kebangkitan kultural dan
administratif dari negara di bawah pengaruh ide-ide barat. Sultan-sultanya
adalah:
a. Abdul Majid I (Putera Mahmuud II) 1839-1861
b. Abdul Aziz (Putera Mahmud II) 1861-1876
c. Murad V (Putera Abd. Majid I) 1876-1876
d. Abdul Hamid II (Putera Abd. Majid I) 1876-1909
e. Muhammad V (Putera Abd. Majid I) 1909-1918
f. Muhammad IV (Putera Abd.
Majid I) 1918-1922
g. Abdul Majid II (1922-1924), hanya
bergelar khalifah, tanpa sultan yang akhirnya diturunkan pula dari jabatan
khalifah. Turki Usmani di hapus oleh Kemal Attarurk dan Turki menjadi negara
nasional Republik Turki.
Pada periode ini muncul gerakan pembaharuan yang
kurang lebih merupakan aplikasi dari Tanzimat. Namun demikian tantangan Barat
terus berlanjut sehingga secara bertahap wilayah Usmani semakin berkurang. Pada
tahun 1865 M Turki kehilangan Serbia, dan dua kerajaan kecil di Danube. Di
kawasan Caucasia Turki kehilangan Qars dan Batum. Inggris mencaplok Cyprus dan
Mesir. Burgaria merdeka dan Bosnia dan Herzegovina diambil oleh Austria.
Kemudian Tripoli jatuh ketangan Italia.
Selama abad ke-19, hubungan Turki dengan Persia
berjalan baik. Namun, karena keterlibatan Turki dalam perang Dunia menyebabkan
kehilangan beberapa wilayah di Asia. Konstantinopel sendiri diduduki oleh
pasukan sekutu. Kemunduran politik ini pada akhirnya menggentarkan turunnya
sultan Muhammad VI pada tahun 1922 dan kemudian hilangnya kerajaan Usmani.
C. Peradaban Islam yang berkembang di Turki
Sejak masa Usman bin Ertaghrol yang dianggap pembina
pertama kerajaan Turki Usmani ini dengan nama imperium Ottoman timbullah
kemajuan dalam berbagai bidang agama Islam. Turki membawa pengaruh cukup baik
dalam bidang ekspansi agama Islam ke Eropa.
v Bidang Pemerintahan dan Militer
Para pemimpin
kerajaan Usmani pada masa-masa pertama adalah orang-orang yang kuat sehingga
kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian,
kemajuan kerajaan Usmani hingga mencapai masa keemasannya itu bukan semata-mata
karena keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang
mendukung keberhasilan tersebut. Kemajuan dalam bidang kemiliteran dan
pemerintahan ini membawa Dinasti Turki Usmani menjadi sebuah negara yang cukup
disegani pada masa kejayaannya.[16]
v Bidang Ilmu Pengetahuan
Peradaban Turki
Usmani merupakan perpaduan bermacam-macam peradaban, diantaranya adalah
peradaban Persia, mereka banyak mengambil pelajaran-pelajaran tentang etika dan
tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran
banyak mereka serap dari Bizantium.
Sebagai bangsa
yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka
dalam bidang kemiliteran sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka
kelihatan tidak begitu menonjol. Karena itulah dalam khazanah intelektual Islam
kita tidak menemukan ilmuwan terkemuka dari Turki Usmani.[17]
v Bidang kebudayaan
Dalam bidang kebudayaan, Turki Usmani banyak
muncul tokoh-tokoh penting seperti yang terlihat pada abad ke-16, 17, dan 18.
Antara lain abad ke-17, muncul penyair yaitu Nafi’ (1582-1636 M). Nafi’ bekerja
untuk Murad Pasya dengan menghasilkan karya-karya sastra Kaside yang mendapat
tempat di hati para Sultan.
Di antara penulis yang membawa pengaruh Persia
ke dalam istana Usmani adalah Yusuf Nabi (1642-1721 M), ia muncul sebagai juru
tulis bagi Musahif Mustafa, salah seorang menteri Persia dan ilmu-ilmu agama.
Dalam bidang sastra prosa Kerajaan Usmani melahirkan dua tokoh terkemuka yaitu
Katip Celebi dan Evliya Celebi. Yang terbesar dari semua penulis adalah Mustafa
bin Abdullah, yang dikenal dengan Katip Celebi dan Haji Halife (1609-1657 M). adapun
di bidang seni arsitektur Islam pengaruh Turki sangat dominan, misalnya
bangunan-bangunan mesjid yang indah, seperti mesjid Al-Muhammadi atau Majid
Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Agung Sultan Sulaiman, dan masjid Aya Sophia
yang berasal dari sebuah gereja.[18]
Pada masa
Sulaiman di kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun mesjid,
sekolah, rumah sakit, gedung maka, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian
umum. Disebutkan bahwa 235 buah bangunan di bawah koordinator Sinan, seorang
arsitek asal Anatolia.[19]
v Bidang Keagamaan
Agama dalam
tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial dan
politik. Masyarakat digolong-golongkan berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri
sangat terikat dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku.
Karena itu ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan
dan masyarakat. Mufti, sebagai pejabat urusan agama tertinggi, berwenang
memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa
legitimasi Mufti keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.
Pada masa Turki
Usmani tarekat juga mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang ialah
tarekat Bektasyi dan tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut oleh
kalangan sipil dan militer. Tarekat Bektasyi mempunyai pengaruh yang amat
dominan di kalangan tentara Jenissari, sehingga mereka sering disebut tentara
Bektasyi. Sementara tarekat Maulawi mendapat dukungan dari para penguasa dalam
mengimbangi Jenissari Bektasyi.
Kajian mengenai
ilmu keagamaan Islam, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadis boleh
dikatakan tiak mengalami perkembangan yang berarti. Para penguasa lebih
cenderung untuk menegakkan satu faham (mazhab) keagamaan dan menekan mazhab
lainnya.
Bagaimanapun
kerajaan Turki Usmani banyak berjasa, terutama dalam perluasan wilayah
kekuasaan Islam ke benua Eropa. Ekspansi kerajaan ini untuk pertama kalinya
lebih banyak ditujukan ke Eropa Timur yang belum masuk ke dalam wilayah
kekuasaan dan agama islam. Akan tetapi karena dalam bidang peradaban dan
kebudayaan kecuali dalam hal-hal yang bersifat fisik pekembangannya jauh di
bawah kemajuan politik, maka bukan saja negeri-negeri yang sudah ditaklukan
itu, akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan pusat, tetapi juga masyarakatnya
tidak banyak yang memeluk agama Islam.[20]
D. Kemunduran Turki Usmani
Setelah Sultan Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan
Turki Usmani mulai memasuki fase kemunduran. Akan tetapi, sebagai sebuah
kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan
Suliaman Al-Qanuni diganti oleh Sultan Salim II. Di masa pemerintahannya
terjadi pertempuran antara armada laut kerajaan Usmani dengan armada laut
kristen yang terdiri dari angkatan lau Spanyol, Bundukia, Sri Paus dan sebagian
kapal para pendeta Malta yang dipimpin oleh Don Juan dari Spanyol.
Pertempuran ini terjadi di Selat Liponto (Yunani).
Dalam pertempuran ini Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan
Tunisia dapat direbut musuh. Baru pada masa sultan berikutnya Sultan Murad III,
Tunisia dapat direbut kembali.[21]
Pada masa Sultan Murad III (1574-1595) Kerajaan Usmani pernah berhasil menyerbu
Kaukasia dan menguasai Tiflis di laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tibris,
ibu kota kerajaan Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri
Polandia dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M.
Namun karena kehidupan moral Sultan yang kurang baik
menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Apalagi ketika pemerintahan
dipegang oleh para sultan yang lemah seperti Sultan Muhammad III, dalam situasi
yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul kerajaan Usmani.
Sesudah Sultan Ahmad I (1603-1617 M) situasi semakin
memburuk dengan naiknya Mustafa I. Karena gejolak politik dalam negeri tidak
dapat diatasinya, Syaikh Al-Islam, mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta
dan diganti oleh Usman II.
Pengganti Sultan Mustafa III adalah Sultan Abdul Hamid
seorang Sultan yang lemah. Pada masa Sultan Hamid mengadakan perjanjian dengan
Catherine II dari Rusia yang diberi nama perjanjian Kinarja, isinya yaitu
kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di laut Hitam
kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintas selat yang
menghubungkan Laut Hitam dan laut putih, dan kerajaan Usmani mengakui
kemerdekaan Kirman.
Demikianlah proses kemunduran yang terjadi di kerajaan
Usmani selama dua abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman al-Qanuni. Tidak
ada tanda-tanda membaik sampai abad ke 19 M. Oleh karena itu satu persatu
negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri.
Bukan hanya negeri-negeri Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang
memberontak terhadap kekuasaan kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di
Timur Tengah mencoba bangkit memberontak.[22]
Banyak faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani itu
mengalami kemunduran, diantaranya adalah:
1. Wilayah kekuasaan yang sangat
luas. Administrasi pemerintahan bagi suatu negara yang amat luas wilayahnya
sangat rumit dan kompleks, sementara administari pemerintahan kerajaan Usmani
tidak beres.
2. Heterogenitas penduduk. Sebagai
kerajaan besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, mencakup Asia
Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz, dan Yaman di Asia. Mesir, Libia, Tunis, dan
Aljazair di Afrika, dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan
Rumania di Eropa. Wilayah yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam,
baik dari segi agama, ras, etnis, maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk
yang beragam dan tersebar di wilayah yang luas itu, diperlukan suatu organisasi
pemerintahan yang teratur.
3. Kelemahan para penguasa. Sepeninggalan
Sulaiman Al-Qanuni, kerajaan Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah
baik dalam kepribadian terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya pemerintahan
menjadi kacau. Kekacauan itu tidak pernah dapat diatasi secara sempurna, bahkan
semakin lama menjadi semakin perah.
4. Budaya Pungli (korupsi). Pungli
merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam kerajaan Usmani, setiap
jabatan yang hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada
orang yang berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya Pungli ini
mengakibatkan dekadensi moral kian merajalela yang membuat pejabat semakin
rapuh.
5. Pemberontakan tentara Jenissari.
Kemajuan ekspansi kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya tentara
Jenissari, dengan demikian dapat dibayangkan bagaimana kalau tentara ini
memberontak. Pemberontakan tentara Jenissari terjadi sebanyak empat kali.
6. Merosotnya ekonomi. Akibat perang
yang tak pernah berhenti pereekonomian negara merosot. Pendapatan berkurang
sementara belanja negara sangat besar untuk biaya perang.
7. Terjadinya Stagnasi dalam
lapanagan Ilmu dan Teknologi. Kerajaan Usmani kurang berhasil dalam
mengembangkan ilmu dan teknologi, karena hanya mengutamakan pengembangan
kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh kemajuan ilmu dan
teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh
dari Eropa yang lebih maju.
Karena faktor-faktor tersebut, Turki Usmani menjadi
lemah dan kemudian mengalami kemunduran dalam berbagai bidang. Pada periode
selanjutnya di masa modern, kelemahan kerajaan Usmani ini menyebabkan kekuatan
Eropa tanpa segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah muslim yang
dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan
Afrika Utara.[23]
[1] Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 193.
[2]Syafiq A.
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam,
cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 51.
[3]Badri
Yatim, Sejarah Peradaba Islam, Ed. 1,
Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 130.
[4]Syafiq A.
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam,
cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 52.
[5]Badri
Yatim, Sejarah Peradaba Islam, Ed. 1,
Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 130.
[6]Syafiq A.
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam,
cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 53.
[7]Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet.
12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 131.
[8]Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 196.
[9]Syafiq A.
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam,
cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 55.
[10]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed.
1, Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 131.
[11]Syafiq A.
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam,
cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 58.
[12]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1,
Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 132.
[13]Syafiq A.
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam,
cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 58-59.
[14]Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 196.
[15]Syafiq A.
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam,
cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 59.
[16]Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 200-201.
[17]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed.
1, Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 136.
[18]Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 202.
[19]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed.
1, Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 136.
[20]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed.
1, Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 137-138.
[22]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed.
1, Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 166.
[23]Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 209.
0 komentar: